Lampu Merah Yang Tak Jua Menyala

Ada satu pemandangan yang menurut hemat penulis, aneh dan ironis, di tengah-tengah daerah yang terbiasa disebut sebagai salah satu kota penyangga Ibu kota, yach di sebuah persimpangan jalan yang sudah ribuan kali aku lewati, teronggok lampu merah dengan menampakan wajah sedih dan lusuhnya, ini menandakan usianya yang tak lagi muda, sebagian kulit pembalut tulangnya sudah banyak yang terkelupas, terdorong rasa penasaran penulis pun menyempatkan turun dari motor, berhenti meraba dan mendekatinya, ketika penulis dekati seakan-akan sang lampu merah memberikan isyarat kegirangan menyambut kedatangan penulis, seolah ingin mengungkapkan sebuah letupan perasaan kecewa yang selama ini ia pendam, ia pun bergumam lirih,
” Duhai kisanak sungguh aku merasa bahagia, setiap hari manusia berlalu lalang, meninggalkan debu-debu yang bertebaran ia hinggap dan mengotoriku tanpa kuasa aku hindari, suara-suara knalpot kendaraan yang memekakan, pemandangan memilukan dari pengguna jalan yang dengan pongah melanggar disiplin berlalulintas, sedih rasanya secuilpun mereka tak menghiraukan kehadiranku, sedangkan engkau sudi datang dan merabaku” mendengar keluhannya penulis pun mecoba ingin tahu lebih dalam dan balik bertanya ” lalu apa yang membuat kamu sedih lamer ( sapaan akrab lampu merah red ) toh apapun yang terjadi berkaitan dengan situasi semrawut lalulintas disini semua itu bukan salahmu?”
” Hm..m jangan salah duga kisanak. aku sedih bukan karena badanku dekil atau telingaku hampir pecah mendengar deruan mesin kendaraan, itu sudah aku terima dengan ikhlas karena  bagian dari konsekwensi saya mau setia berdiri di pinggir jalan ini”
Sebelum melanjutkan kata-katanya, sejenak ia tertegun, tertunduk murung dengan suara terbata ia coba mengungkapkan alasan kesedihannya, ” Kisanak yang menjadi sumber kesedihanku adalah jika teringat tempoe doeloe ketika pihak berwenang menanamku disini bagaimana wajah mereka dengan sumringah dan mengantongi harapan besar, he.hh lamer dengan ditanamnya engkau disini kami yakin situasi lalulintas disini kedepannya akan jauh lebih tertib dan rapih, lamer pun melanjutkan keluhannya ” tapi apa nyana harapan itu terbang dan entah kapan kembali”, suara gemerutuk giginya terdengar tanda si lamer mulai geram, ” Aku heran pada manusia bukankah aku hadir sebagai salah satu tanda adanya kemajuan sistem lalulintas, bukankah tekhnologi hadir untuk membuat semuanya lebih mudah dan praktis buat kalian, lebih miris lagi jika kamu melihat temanku yang berada berlawanan arah denganku, tiga matanya sudah rontok, tersisa kerangka dan tiangnya saja.
Aku yang mendengar kekesalannya yang semakin memuncak mencoba menenangkan, ” tenang Mer sabar napa kemarahnmu jangan kau tumpahkan padaku, sabar lah siapa tahu nanti ada pihak yang berwenang mendengar obrolan kita, lalu dia bertindak dan memperbaikimu, yach setidaknya ada kejelasan statusmu akan dibiarkan tetap seperti ini ataukah dibenahi itu semua tergantung dari mereka-mereka semua yang punya otoritas”
” Waduh sorry kawan, habis saking emosinya sich and mumpung ada yang buat curhat jadi kebablasan dech, habisnya coba kalau tiga mataku kembali di fungsikan, sekali kedip saja pasti mampu membuat para pengguna kendaraan jadi lebih tertib, Pak polisi juga jadi nggak terlalu sibuk, sampai harus berdiri terus di tengah jalan buat ngatur lalulintas, pasrahkan saja sebagian tugas mereka padaku, dengan senang hati aku pasti mau melaksanakannya, kebahagiaan terbesarku adalah tatkala aku bisa berperan dan berfungsi dengan baik sesuai qodratku sebagai sarana penunjang ketertiban lalulintas”
” Nach gitu dong Mer, optimis aja lach seiring waktu kau pasti kembali bisa menyala, masa sich pengelola kota akan membiarkanmu terus berpenampilan seperti barang tak berguna, mubazirlah kamu bisa nongkrong disini , dulu pakai anggaran nggak kecil loch sembarangan aja, duitnya salah satunya termasuk dari saya juga, lewat pajak penghasilan, bayar retribusi lampu jalan kalau pas bayar listrik, dan pajak-pajak lainnya”, ech ngomong-ngomong kamu sudah berapa lama nggak berfungsi?, seingat saya ada barangkali sepuluh tahun atau bahkan lebih kamu di telantarkan, soalnya dulu tahun 1994-1995 saya sudah tinggal disekitar sini nggak lama beranjak dari tahun – tahun itu, mungkin sekitar tahun 1999 saya sempat bangga melihat kamu dengan gagah menyala”.
“Lamer pun menjawab ach pokoknya sudah lama, ibarat manusia usia non aktif saya sudah bukan BALITA lagi, sampai lupa aku ini masih berfungsi atau sengaja tidak difungsikan?”
” Kasihan kau Mer, ya sudah kita akhiri obrolan kita dulu, hari sudah mulai gelap, aku pulang dulu, dari tadi mamah sms melulu katanya ” pah …masih lama nggak pulangnya, sudah makan malam belum? ditunggu nich”, hm.mm benar-benar istri setia, dadah…me..r..r, wkwkwkwk..wk…emang enak dicuekin”
( Lampu merah itu berada di pertigaan Bitung-Tangerang )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages