Jangan Lupakan Topi Bambu

TOPI bambu bikinan Tangerang, Banten, pernah dikenal di Eropa pada masa kolonial. Kini kondisi perajin topi memprihatinkan. Komunitas Topi Bambu gigih membangkitkan kembali kejayaan topi bambu. 


Topi bambu pernah menjadi produk primadona di Kabupaten Tangerang. Tengoklah dekat-dekat lambang daerah Tangerang, maka segera tampak gambar topi bambu. Pada masa kolonial sekitar era 1910, topi bambu mencapai masa kejayaannya. Topi bambu dari Tangerang pernah merajai pasaran Eropa. Di kota pusat mode dunia, seperti Paris, topi bambu dipakai oleh gadis-gadis bangsawan sebagai bagian dari mode pada zamannya. Seiring berjalannya waktu, topi bambu makin tersisih. Sempat diekspor ke Amerika Serikat dan Eropa melalui Pelabuhan Tanjung Priok, kejayaan ekspor topi bambu berakhir sekitar 1930.
Tak rela menyaksikan keruntuhan pamor topi bambu, Komunitas Topi Bambu menularkan kecintaannya pada topi bambu kepada lebih banyak orang. Di galeri mungil berukuran 5 meter x 4 meter di Jalan Raya Serang, Cikupa, Tangerang, anggota komunitas kerap berkumpul. Beragam jenis topi bambu dipajang di setiap sudut ruangan. Saepul Milah menunjukkan contoh topi pesanan dari Perancis yang sederhana, tetapi elegan.
Ada pula topi bambu yang mirip dengan topi tentara yang dipesan untuk keperluan peragaan busana di Jepang. Topi bambu untuk pasar Jepang ini merupakan permintaan pertama yang datang dari luar negeri setelah komunitas berdiri pada 2010. ”Sempat ada kendala bahasa. Namun, setelah lima kali kirim gambar dan beberapa kali koreksi ulang, konsumen Jepang puas,” kata Saepul.
Konsumen dari Perancis dan Jepang menyukai kehalusan helai-helai bambu yang sudah ditipiskan sebagai bahan baku topi bambu. Saking kagumnya, sempat terlontar ketidakpercayaan bahwa helaian bambu tersebut benar-benar diperhalus dengan tangan, tanpa mesin.
Anggota komunitas lainnya, Agus Hasanudin, menunjukkan surat elektronik (e-mail) pesanan topi bambu yang datang dari Belanda. Tak lupa, si pemesan melampirkan foto model topi bambu yang diinginkan. ”Perajin masih konvensional. Membuat sesuatu berdasarkan sesuatu yang sudah ada. Kini, mereka harus beradaptasi. Harus belajar membuat pola dan model berbeda,” kata Agus.


Jembatan perajin-pasar
Dalam relasi dengan para perajin, anggota Komunitas Topi Bambu menjalani peran sebagai pembangun jembatan antara perajin dan konsumen. Produksi dari para perajin yang biasanya hanya dijual ke pasar tradisional mulai diikutsertakan pada pameran kerajinan di tingkat lokal maupun nasional.
Lewat blog komunitas topibambu.com, karya perajin diperkenalkan kepada masyarakat luas. Anggota komunitas pun rajin melancong ke desa-desa di Tangerang untuk membangun relasi dengan perajin. Hasil perjumpaan itu antara lain ditulis dan diunggah di media sosial.
Komunitas Topi Bambu juga mendorong perajin untuk peduli pada kontrol kualitas, bekerja keras, dan mulai beradaptasi dengan permintaan pasar dari luar negeri. Mereka juga menjembatani kendala bahasa ketika permintaan berdatangan dari luar negeri.
Agar anak-anak muda tertarik pada pelestarian topi bambu, pelatihan menganyam bambu di sekolah-sekolah di pusat kerajinan bambu pun digalakkan. Para mahasiswa turut terlibat dalam beragam kegiatan untuk menumbuhkan kecintaan pada topi bambu. Dede Rosadi, seorang mahasiswa, baru mengenal tentang topi bambu dari Himpunan Mahasiswa Tangerang Barat. Dede kemudian bergabung dengan komunitas dan ikut membangun jembatan antara perajin dan perusahaan.
Banyak perusahaan lalu tertarik memberikan bantuan dana bagi pengembangan kerajinan topi bambu. Ada yang membantu memperbaiki bengkel kerja para perajin. Perusahaan lainnya membantu penanaman bambu tali sebagai bahan baku utama topi bambu.
Komunitas Topi Bambu dirintis oleh lima orang yang seluruhnya adalah penulis blog. Sebelum fokus pada topi bambu, Agus lebih banyak menulis artikel tentang wisata atau makanan di blog pribadinya, sementara Saepul suka menulis jurnal. Dari hobi menulis di blog inilah mereka berjumpa dengan para perajin topi bambu yang umumnya tinggal di Tangerang, seperti Pasar Kemis, Jambe, Caringin, Cibugel, atau Cisoka.
”Kami blusukan lalu wawancara dengan para perajin yang sudah renta. Kondisi mereka memprihatinkan. Susah bikinnya, tetapi murah dan dipasarkan cuma di sekitar wilayah situ,” ujar Saepul.
Kebanyakan perajin membuat topi ilaban atau topi dasaran yang belum jadi. Mereka menganyam topi ilaban lalu dijual murah kepada pengepul. Mayoritas perajin hanya membuat topi pramuka yang dihargai sangat murah Rp 50.000 per kodi. Topi pramuka ini dipasarkan ke Aceh, Palembang, Lampung, Jawa, Kalimantan, dan Papua.
Seiring keterlibatan anggota Komunitas Topi Bambu untuk memasarkan hasil karya perajin, harga topi pramuka kini bisa meningkat menjadi dua kali lipat. ”Kami puas. Harga topi bambu bisa naik. Perajin bisa memasarkan sendiri topi buatannya,” kata Agus.
Topi raksasa
Agar pasar kembali melirik topi bambu, Komunitas Topi Bambu, antara lain, mempromosikannya dengan membuat topi raksasa berdiameter 2 meter pada 2011. Topi raksasa ini dipamerkan di hadapan menteri sebelum kemudian mendapat rekor Muri pada 2012.
Setelah aktif terlibat dalam beragam pameran, pesanan dari luar negeri mulai pada 2013. Selain terus memproduksi topi pramuka, perajin kemudian berlatih memenuhi pesanan khusus topi bambu dari luar negeri. Mereka lantas membuat topi koboi topi country, topi pantai, dan laken.
Saat ini masih tersisa sekitar 200 perajin topi bambu di Tangerang. Untuk membuat topi dasaran yang masih separuh jadi, perajin membutuhkan waktu pengerjaan selama satu pekan. Beragam produk turunan berbahan dasar bambu, seperti tas dan aksesori, juga mulai diproduksi.
Agus mengungkapkan, sempat ada permintaan satu kontainer topi bambu, tetapi sulit dipenuhi oleh para perajin. ”Perajin belum siap. Kalau perajin habis, topi bambu hanya tinggal logo saja. Jika banyak permintaan, perajin mau bangkit,” ujarnya.
”Kami adalah helpfull community. Kami tidak mau melupakan sejarah kejayaan topi bambu,” tambah Agus. (MAWAR KUSUMA)
  Sumber Kompas  31 Agustus 2014, link dibawah ini

3 komentar:

Pages